Abstrak

The fact of people's responsibility towards children after divorce in Jayapura City, fathers often ignore the obligation to provide for children, so that mothers as the holder of custody bear all the needs of the child. The father's reasons include economic problems, new marriage, psychological, and the assumption that the mother is capable. And legal analysis shows that the rights of children after divorce are regulated in Law No. 1 of 1974 on Marriage and the Compilation of Islamic Law, which requires parents, especially fathers, to bear the costs of children until adulthood. However, many divorced parents do not fulfill these responsibilities, violating Article 14 of the Child Protection Law which regulates children's rights and parental responsibilities after divorce. Children's rights after divorce are regulated by law, but many divorced parents do not fulfill their responsibilities, violating child protection provisions.

Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perbaharuan atas Undang-Undang Nomor 1 Thaun 1974 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]

Perkawinan adalah suatu ikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui secara sah oleh negara untuk menjalani kehidupan bersama secara permanen. Oleh karena itu, suami istri dalam suatu perkawinan mempunyai tanggung jawab secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban timbal balik antara suami dan istri serta anak-anak yang lahir dalam perkawinan. [2] Namun dalam hubungan antara suami istri tidak jarang terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, maupun sebab- sebab lain yang kadang-kadang menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi yang disebut perceraian.

Perceraian sering kali menjadi salah satu peristiwa yang mengubah dinamika keluarga secara signifikan, terutama terkait dengan hak-hak anak. Di Indonesia, baik dalam sistem hukum Islam maupun hukum negara (hukum perdata), tanggung jawab orang tua terhadap anak tetap menjadi kewajiban yang harus dipenuhi meskipun orang tua telah bercerai.[3] Hal ini penting untuk dipahami dalam konteks perlindungan hak-hak anak, yang tercantum dalam berbagai regulasi dan konvensi internasional seperti Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child, CRC), yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Berbagai faktor sosial, ekonomi, dan psikologis yang terjadi pasca perceraian seringkali mempengaruhi kesejahteraan anak,[4] baik dari segi fisik maupun mental. Oleh karena itu, analisis yuridis mengenai tanggung jawab orang tua terhadap anak pasca perceraian menjadi sangat relevan untuk mengetahui sejauh mana hak-hak anak dilindungi oleh hukum dan bagaimana kewajiban orang tua dalam memenuhi hak tersebut.

Method

Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif - empiris, yang melibatkan pengumpulan informasi langsung dari lapangan (Field Research). Penelitian normatif merupakan jenis penelitian yang mengutamakan kajian terhadap norma-norma hukum yang ada.[5] Pendekatan ini berfokus pada analisis peraturan perundang-undangan, prinsip-prinsip hukum, doktrin hukum, serta literatur hukum yang relevan. penelitian empiris merupakan menitikberatkan pada pengumpulan data dan fakta yang berasal langsung dari lapangan. Pendekatan empiris biasanya melibatkan kegiatan seperti wawancara, survei, atau observasi untuk mendapatkan informasi langsung dari subjek penelitian. Metode ini digunakan untuk menganalisis atau mengevaluasi sejauh mana peraturan, undang-undang, atau hukum yang berlaku telah diterapkan secara efektif.

Faktor-Faktor Orang Tua Tidak Melaksanakan Tanggung Jawab Terhadap Anak Pasca Perceraian di Kota Jayapura

Pasangan suami istri yang melangsungkan pernikahan tentu memiliki tujuan bersama, yaitu membangun keluarga yang bahagia dan langgeng. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1] Dengan demikian, melalui undang-undang tersebut, negara mengharapkan setiap perkawinan dilandasi tujuan untuk membangun rumah tangga yang abadi serta tidak mendukung terjadinya perceraian.

Dalam kehidupan berkeluarga, tidak selalu semuanya berjalan dengan lancar. Hal ini karena perkawinan melibatkan penyatuan dua individu dengan latar belakang, sifat, dan kebiasaan yang berbeda, yang terkadang dapat memicu perselisihan.[2] Konflik semacam ini dianggap sebagai hal yang wajar dalam keluarga. Namun, tidak sedikit pasangan di Indonesia yang akhirnya tidak dapat mempertahankan pernikahannya karena berbagai permasalahan yang muncul, sehingga berujung pada perceraian dan berakhirnya ikatan perkawinan tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, peneliti menemukan bahwa anak-anak yang menjadi korban perceraian sering kali diabaikan oleh salah satu orang tuanya. Akibatnya, tanggung jawab pengasuhan anak sepenuhnya menjadi beban salah satu pihak saja, sementara pihak lainnya sama sekali tidak terlibat dalam pengasuhan. Pengasuhan ini tidak hanya mencakup perawatan dan perhatian langsung terhadap anak, tetapi juga mencakup pemenuhan kebutuhan seperti nafkah dan kesehatan anak, yang sama sekali tidak diberikan oleh pihak tersebut. Dengan demikian, tanggung jawab pengasuhan sepenuhnya berada di tangan satu pihak, tanpa adanya kontribusi dari pihak lain yang seharusnya turut bertanggung jawab. Seperti hasil wawacara salah satu warga yaitu Ibu Titi mengatakan:

“Ayah dari anak saya telah benar-benar meninggalkan tanggung jawabnya. Dia tidak pernah peduli dengan kabar anaknya, tidak memberikan dukungan finansial, dan sama sekali tidak terlibat dalam pengasuhan. Sejak kami bercerai, hubungannya dengan anak kami pun benar-benar terputus”.

Sama halnya yang dikatakan waga atas nama Mama April, ia mengatakan bahwa:

“Setelah perceraian, anak saya kehilangan figur seorang ayah. Mantan suami saya yang kini telah membangun keluarga baru tidak lagi memberikan perhatian kepada anak-anaknya, sehingga anak saya tidak merasakan kasih sayang dan perhatian dari seorang ayah”.

Di Kota Jayapura, terdapat sejumlah kasus perceraian, khususnya di kalangan pasangan yang telah menikah dan memiliki anak.[6] Meski orang-orang yang terlibat berbeda, pola permasalahannya hampir serupa. Padahal, sudah jelas bahwa tanggung jawab terhadap anak adalah kewajiban bersama kedua orang tua, yang tetap harus dijalankan meskipun mereka telah bercerai.

Wawancara tersebut mengungkapkan bahwa setelah perceraian, tanggung jawab ayah terhadap anak sering diabaikan. Padahal, seorang ayah tetap berkewajiban menafkahi anaknya meskipun telah bercerai dengan ibu anak tersebut.[7] Meski putusan hukum menyatakan bahwa ayah tetap harus memenuhi kewajiban nafkah, kenyataannya, hal tersebut hanya tertulis di atas kertas dan tidak sesuai dengan realitas yang ditemukan penulis.

Banyak ayah yang mengabaikan kewajiban memberikan nafkah kepada anak setelah perceraian. Meskipun tidak lagi tinggal serumah, seorang ayah tetap memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya, namun kenyataannya sering kali kewajiban ini tidak dijalankan.

Selanjutnya dilanjutkan oleh mama April, ia mengatakan:

“Saya menanggung seluruh kebutuhan hidup anak saya, termasuk pemeliharaan, nafkah, dan kebutuhan lainnya. Padahal, setahu saya, meskipun suami dan istri bercerai, seorang ayah tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan anaknya, terutama dalam hal tanggung jawabnya sebagai seorang ayah”.

Kemudian Ibu Titi juga menjelaskan pada saat wawancara bahwa sering adanya KDRT, Ibu Titi menjelaskan:

“Selama pernikahan, mantan suami saya kerap melakukan KDRT terhadap saya. Setelah itu, dia pergi meninggalkan anak-anaknya dan mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Dia hanya sesekali menemui anak-

anaknya dan memberikan uang, namun setelah itu tidak ada kabar hingga sekarang”.

Berdasarkan hasil wawancara, Warga atas nama Ibu Titi mengungkapkan bahwa selama pernikahannya, ia mengalami KDRT dari mantan suaminya. Setelah perceraian, mantan suaminya hanya beberapa kali menemui anaknya dan memberikan uang, namun kemudian hilang kontak hingga kini tidak pernah bertemu lagi dengan anaknya. Dari situ dapat disimpulkan bahwa mantan suami Ibu Titi hanya menjalankan tanggung jawab sebagai ayah di awal perceraian, lalu mengabaikannya. Dalam ketentuan hukum yang berlaku maupun dalam agama meskipun orang tua telah bercerai, seorang ayah tetap memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada anaknya.[8]

Dari sudut pandang seorang ayah, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mereka mengabaikan tanggung jawab terhadap anak.[9] Salah satu faktor utama adalah perceraian, yang sering kali membuat seorang ayah merasa bahwa tanggung jawabnya terhadap anak berakhir seiring dengan perubahan status pernikahan. Konflik, kebencian, atau perselisihan dengan mantan istri juga sering berdampak pada anak, meskipun anak tersebut tidak terlibat atau mengetahui masalah antara kedua orang tuanya.

Beberapa alasan yang menyebabkan ayah tidak memenuhi tanggung jawabnya terhadap anak setelah perceraian antara lain masalah ekonomi, menikah lagi, pisikologis dan orang tua perempuan merasa mampu.[9] Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban masing-masing, termasuk kewajiban suami untuk memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri. Namun, kenyataannya, sering kali suami tidak menjalankan tanggung jawab tersebut, salah satunya disebabkan oleh ketidakmampuan dalam mencari pekerjaan yang layak. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong istri untuk mengajukan gugatan cerai.

Untuk memahami alasan mengapa seorang ayah tidak menafkahi anaknya, berdasarkan hasil wawancara ditemukan ada beberapa faktor penyebab suami tidak memberikan nafkah anak pasca perceraian diantaranya:

Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi memiliki peran yang sangat signifikan dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Banyak suami yang bercerai dengan istrinya sering kali mengabaikan kewajiban mereka untuk memberikan nafkah kepada anak, dengan alasan kondisi ekonomi. Persoalan nafkah anak pasca perceraian menjadi isu penting, mengingat anak-anak yang lahir dari pernikahan tidak memiliki keterlibatan atau kesalahan atas perpisahan orang tua mereka. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara peneliti dengan salah satu warga yaitu bapak Israel, Ia menyampaikan bahwa:

“Saya mengakui bahwa saya tidak bisa memberikan nafkah anak pasca perceraian karena ekonomi yang kurang, karena saya tidak memiliki pekerjaan tetap, saya merasa tidak mampu untuk berkontribusi dalam pemeliharaan anak atau memenuhi tanggung jawab saya, baik dalam hal nafkah lahir maupun batin. Oleh karena itu, saya merasa malu kepada mantan istri dan akhirnya menyerahkan sepenuhnya pengurusan anak kepada mantan istri saya”.

Dilanjutkan bapak Israel, ia mengatakan:

"Sebagai seorang ayah, saya sadar bahwa memberikan nafkah kepada anak setelah perceraian adalah kewajiban saya, sesuai kesepakatan sebesar tujuh ratus ribu rupiah per bulan. Namun, hingga saat ini saya belum dapat menjalankan kewajiban tersebut karena keterbatasan ekonomi. Penghasilan saya tidak stabil, terkadang saya tidak memiliki pekerjaan tetap, dan saat ini saya hanya bekerja sebagai buruh bangunan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari”.

Berdasarkan wawancara tersebut, diketahui bahwa salah satu faktor orang tua lalai dalam memenuhi tanggung jawabnya yaitu karena faktor ekonomi, tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga dampaknya sebagai mantan suami merasa malu kepada mantan istrinya dan memilih untuk menyerahkan seluruh tanggung jawab serta pengurusan anak kepada mantan istrinya, yang ia anggap lebih mampu menghidupi anak-anak mereka. Namun, meskipun penghasilan seorang ayah terbatas, ia tetap berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada anaknya. Seharusnya, seorang ayah tidak melepaskan seluruh tanggung jawab kepada ibu anak, meskipun mereka sudah bercerai[7].

Faktor Psikologis

Faktor psikologis dapat menjadi penyebab orang tua perempuan, yang memegang hak asuh, melarang mantan suaminya untuk bertemu dengan anak mereka.[9] Situasi ini dapat memicu orang tua laki-laki (ayah) enggan memberikan biaya nafkah untuk anak. Keadaan tersebut dapat dilihat pada jawaban salah satu informan pada saat peneliti melakukan wawancara warga di Kota Jayapura, yaitu bersama pak Chairul, S.Pd., menyatakan bahwa:

"Saya menyadari bahwa menafkahi anak setelah perceraian merupakan tanggung jawab saya sebagai seorang ayah, meskipun jumlah yang disepakati hanya satu juta dua ratus ribu rupiah per bulan untuk tiga anak, mengingat saya bekerja sebagai guru. Namun, hingga kini saya belum memenuhi kewajiban tersebut karena mantan istri saya melarang saya bertemu dengan anak-anak. Larangan tersebut didasari oleh kekhawatirannya bahwa ketiga anak kami mungkin akan memilih untuk tinggal bersama saya”.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut peneliti menyimpulkan bahwa salah satu faktor psiskologis orang tua dalam memenuhi tanggung jawabnya pada anak pasca perceraian adalah karena pihak ibu sebagai penerima hak asuh anak membatasi interasksi anak-anaknya kepada mantan suaminya, bahkan melarang kepada bapaknya untuk menemui anak-anaknya, sehingga dengan kejadian tersebut seorang ayah terbatasi dan enggan untuk memberikan nafkah anak pasca perceraian.

Kemudian berkaitan dengan faktor psikologis selain karena ibu sebagai pemegang hak asuh anak membatasi suami bertemu dengan anaknya, orang tua laki-laki (ayah) juga tidak mau memberikan biaya nafkah karena menganggap bahwa biaya nafkah anak tersebut yang diberikan tidak lain akan dipergunakan dan dimanfaatkan oleh mantan istrinya dan faktor karena masih benci terhadap perbuatan mantan istrinya yang mengakibatkan hancurnya rumah tangga mereka Hal tersebut sesuai dari hasil wawancara peneliti bersama bapak RT di Kota Jayapura yaitu bapak Rahman Cahyanto menyatakan:

“Nafkah saya kepada anak sesuai yang disepakati sebanyak dua juta perbulan karena saya bekerja sebagai RT, saya memberikan nafkah anak awalnya rutin kurang lebih selama 6 bulan setelah itu untuk bulan selanjutnya saya sudah tidak memberikan nafkah anak lagi karena saya tau bahwa nafkah anak yang saya berikan hanya untuk ibunya saja, kemudian selain dari itu sebenarnya masih menyimpan rasa dendam kepada mantan istri saya karena perbuatannya belum saya bisa lupakan kejadian perselingkuhan yang dilakukan istri saya dengan laki- laki lain sehingga mengakibatkan hancurnya rumah tangga saya”.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diketahui bahwa faktor psikologis orang tua juga mempengaruhi orang tua laki-laki (ayah) tidak memenuhi tanggung jawabnya terhadap anak, diantaranya dikarenakan nafkah anak yang diberikan suami hanya digunakan oleh mantan istrinya dan faktor lain adalah masih adanya rasa kebencian yang tidak dilupakan oleh suami sehingga akibat dendam tersebut orang tua laki-laki (ayah) enggan untuk memberikan nafkah kepada anak.

Faktor Orang Tua Menikah Lagi

Menikah lagi dapat menjadi salah satu penyebab seorang ayah kesulitan dalam memenuhi kewajiban nafkah kepada anak-anak dari pernikahan sebelumnya.[10] Walaupun kewajiban tersebut telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan Agama saat perceraian, kebutuhan finansial untuk keluarga barunya kerap menjadi alasan utama yang menghambat pemenuhan nafkah bagi anak-anak dari pernikahan terdahulu. Berkaitan dengan hal tersebut peneliti juga menayakan kepada bapak Israel, ia mengatakan:

"Sejak bercerai dengan mantan istri, saya hanya sempat bertemu dengan anak-anak saya sekitar empat atau lima kali, dan itu pun hanya pada awal perceraian. Sekarang, saya tidak pernah lagi mengunjungi atau bertemu mereka karena sudah memiliki keluarga baru dan merasa takut pada istri saya yang sekarang. Saya menyadari ini adalah kesalahan, namun saya tidak tahu harus bagaimana. Insya Allah, saya berharap bisa memperbaiki hubungan dengan anak- anak saya di masa depan atau dalam waktu dekat dan ikut bertanggung jawab

dalam merawat serta mendukung perkembangan mereka, meskipun sudah terlambat. Saya juga tidak tahu apakah mereka akan menerima saya kembali atau tidak”.

Akibat Hukum Bagi Orang Tua yang Tidak Melaksanakan Tanggung Jawab Terhadap Anak Pasca Perceraian di Kota Jayapura.

Kewajiban orang tua terhadap anak tidak berakhir meskipun terjadi perceraian. Orang tua tetap memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan anak, termasuk menyediakan biaya hidup, tempat tinggal yang layak, dan mendukung perkembangan serta pertumbuhan anak secara optimal.[11] Perceraian antara kedua orang tua tidak boleh menjadi penghalang bagi anak untuk mendapatkan hak-haknya. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menegaskan bahwa meskipun terjadi perceraian, kedua orang tua tetap berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak demi kepentingan terbaik anak.[7]

Menurut Undang-Undang Perkawinan, kewajiban tersebut tidak hanya berlaku selama masa perkawinan, tetapi juga tetap berlaku selama proses perceraian hingga anak mencapai usia dewasa.[12] Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 45 : Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tau putus.

Pada Pasal 105 dalam hal terjadinya perceraian:

  1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
  2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
  3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Hak-Hak anak pasca perceraian memang sudah dibahas dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 41 dan 45 jo pasal 80 ayat 4 pasal 104-105 dan pasal 156 huruf (d), Komplikasi Hukum Islam menyatakan bahwa suami berkewajiban memberikan biaya anak -anaknya hadhanah menurut kemampuannya sekurang-kurangnya sampai anak itu dewasa dan bisa berdiri dan cakap bertindak hukum.[13]

Pada kenyataannya, khususnya di Kota Jayapura, masih banyak mantan suami yang tidak menjalankan kewajiban mereka dalam memberikan nafkah kepada anak setelah perceraian. Akibatnya, banyak anak yang tidak mendapatkan hak-hak mereka, seperti hak atas pendidikan dan pemenuhan kebutuhan hidup yang layak. Berdasarkan tanggapan para mantan suami, terdapat berbagai faktor yang menyebabkan mereka tidak memenuhi kewajiban tersebut, sehingga hak anak untuk menerima nafkah pasca- perceraian menjadi terabaikan.

Akibat hukum bagi orang tua yang tidak menjalankan tanggung jawab terhadap anak pasca-cerai sangat signifikan. Setelah perceraian, penting bagi kedua orang tua untuk tetap menjaga dan memenuhi hak-hak anak tanpa mengurangi sedikit pun. Anak- anak yang menjadi korban perceraian biasanya tidak lagi tinggal bersama kedua orang tuanya secara bersamaan, melainkan dengan salah satu pihak. Kondisi ini rentan memicu kelalaian dalam memenuhi kewajiban orang tua untuk memberikan kebutuhan yang diperlukan anak demi mendukung tumbuh kembangnya secara optimal[14]. Apabila orang tua tidak menjalankan kewajiban terhadap anak setelah perceraian atau lalai memenuhi hak-hak anak, dapat dilakukan upaya hukum dengan mengajukan tuntutan ke pengadilan.[3] Masalah kewajiban orang tua terhadap anak termasuk dalam ranah hukum perdata. Dalam hukum perdata, suatu permasalahan hanya akan diproses jika ada laporan dari pihak terkait.

Pihak yang mengalami masalah perdata dapat mengajukan permohonan ke pengadilan setempat sesuai dengan domisili mereka. Terkait tanggung jawab orang tua terhadap anak, penyelesaian kasus bergantung pada hukum yang dipilih oleh pemohon. Jika pemohon beragama Islam, penyelesaian biasanya mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang- Undang Perkawinan, dengan proses yang dilakukan melalui Pengadilan Agama.[15] Jika pemohon memilih menggunakan ketentuan dalam KUHPerdata, penyelesaian dapat dilakukan melalui Pengadilan Negeri. Setelah persidangan berlangsung dan ketua majelis hakim mengeluarkan putusan, pihak termohon diharapkan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan keputusan tersebut. Namun, jika pihak termohon tetap tidak memenuhi kewajibannya setelah putusan pengadilan, pemohon dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan untuk menegakkan keputusan yang telah ditetapkan.

Putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat, serta dilengkapi dengan kekuatan eksekutorial. Artinya, putusan yang berkaitan dengan kewajiban terhadap anak dapat diajukan untuk dieksekusi menggunakan bantuan alat negara jika terjadi hal berikut:[10]

  1. Pihak yang seharusnya melaksanakan kewajiban tersebut tidak melakukannya secara sukarela sesuai putusan pengadilan, atau
  2. Sengaja mengabaikan atau tidak menjalankan putusan tersebut.
  3. Dalam situasi ini, pemohon dapat mengajukan permohonan eksekusi secara paksa kepada pengadilan terkait.

Selanjutnya, Ketua Pengadilan akan mengeluarkan penetapan aanmaning (peringatan kepada termohon eksekusi), yang berisi instruksi kepada juru sita untuk memanggil termohon eksekusi agar hadir dalam sidang aanmaning. Dalam sidang tersebut, Ketua Pengadilan akan memberikan peringatan kepada termohon untuk melaksanakan isi putusan dalam jangka waktu 8 (delapan) hari sejak peringatan diberikan. Jika setelah batas waktu tersebut pemohon eksekusi melaporkan bahwa termohon belum melaksanakan isi putusan, Ketua Pengadilan akan menerbitkan perintah eksekusi. Untuk mencegah penyalahgunaan hak asuh oleh termohon, langkah selanjutnya adalah pencabutan hak asuh anak. Hal ini merujuk pada Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa:

“Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatasdan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenangdengan keputusan pengadilan dalam hal-hal: a) Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anakanaknya; b) Ia berkelakuan buruk sekali.”

Meskipun kekuasaan orang tua atas anak dicabut, mereka tetap memiliki kewajiban untuk memelihara anak-anaknya.[10] Hal ini sesuai dengan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa orang tua tidak lagi memiliki kekuasaan atas anak kandungnya, tetapi tetap bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban dalam hal pemeliharaan anak.

Penjelasan tersebut merujuk pada upaya yang dapat dilakukan terhadap orang tua yang tidak menjalankan tanggung jawabnya kepada anak. Hal ini berbeda dengan kondisi di mana orang tua dianggap tidak cakap atau tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar anak-anaknya, sehingga dapat dibebaskan dari kekuasaan orang tua. Istilah "pembebasan kekuasaan orang tua" sendiri tidak ditemukan dalam Undang- Undang Perkawinan, melainkan diatur secara eksplisit dalam Pasal 319 KUHPer.[12] Sementara itu, Undang-Undang Perkawinan hanya mengatur mengenai pencabutan kekuasaan orang tua.

Dalam aturan pidana juga mengatur bahwa apabila seorang ayah melalaikan kewajibannya untuk menafkahi anaknya, hal tersebut dianggap sebagai bentuk penelantaran dan dapat dikenakan tuntutan pidana.[16] Hal ini diatur dalam BAB XIA Larangan, Pasal 76B, yang menyatakan bahwa "Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, atau menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran." Selain itu, Pasal 77B menjelaskan bahwa "Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)." Undang-Undang secara rinci mengatur kewajiban orang tua dalam memenuhi nafkah bagi anak, termasuk akibat perceraian.[11] Menurut penulis, hal ini dapat dikategorikan sebagai penelantaran anak jika seorang ayah tidak memberikan nafkah, sebagaimana diatur dalam Pasal 76B. Ketentuan pidana terkait hal tersebut diatur dalam Pasal 77B Undang-Undang No. 35 Tahun 2014, yang memungkinkan penjatuhan sanksi bagi pelanggaran tersebut.

Kesimpulan

Faktor-faktor orang tua tidak melaksanakan tanggung jawab terhadap anak pasca perceraian di Kota Jayapura ditemukan bahwa, menurut sudut pandang orang tua perempuan bahwa pasca perceraian tanggung jawab ayah terhadap anak sering diabaikan. Padahal, seorang ayah tetap berkewajiban menafkahi anaknya meskipun telah bercerai dengan ibu anak tersebut. Meski putusan hukum menyatakan bahwa ayah tetap harus memenuhi kewajiban nafkah, tapi kenyataannya adalah ibu sebagai pemegang hak asuh anak menanggung keseluruhan kebutuhan anak-anaknya sendiri dia yang menanggung mulai dari memelihara, merawat, sampai nafkah dari pihak sendiri yang bertanggung jawab, mantan suaminya tidak sama sekali bertanggung jawab. Berdasarkan sudut pandang ayah menyatakan bahwa Beberapa alasan yang menyebabkan ayah tidak memenuhi tanggung jawabnya terhadap anak setelah perceraian antara lain masalah ekonomi, menikah lagi, pisikologis dan orang tua perempuan merasa mampu. Akibat hukum bagi orang tua tidak melaksanakan tanggung jawab orang tua terhadap anak pasca perceraian di Kota Jayapura, jika orang tua gagal memenuhi kewajibannya atau bertindak buruk terhadap anak, maka hak asuh anak tersebut dapat dicabut untuk jangka waktu tertentu atas permintaan orang tua lain (seperti saudara kandung yang sudah dewasa, keluarga langsung atas anak, atau pejabat yang berwenang), melalui keputusan pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 319a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Akibat hukum dalam aturan pidana, jika seorang ayah melalaikan kewajibannya menafkahi anak, hal tersebut dianggap penelantaran dan dapat dikenakan tuntutan pidana. Pasal 76B mengatur larangan untuk melibatkan anak dalam perlakuan salah atau penelantaran, sementara Pasal 77B menyatakan bahwa pelanggaran ini dapat dihukum dengan pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda hingga Rp100.000.000.

Referensi

  1. A. Munawar, “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku Di Indonesia,” vol. VII, pp. 21–31, 2015.
  2. S. M. Nurani and S. Sy, “Relasi Hak Dan kewajiban Suami Istri Dalam Perspektif Hukum Islam,” vol. 3, no. 1, pp. 98–116, 2021.
  3. T. Afandy and Y. S. Desiandri, “Tinjauan Implementasi Kebijakan Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Anak,” Iuris Stud. J. …, vol. 4, pp. 145–155, 2024.
  4. M. Husni, A. Pakarti, and D. Farid, “Perlindungan Hak Anak Dalam Perceraian Menurut Hukum keluarga Islam,” J. Huk. Kel., vol. 7, pp. 14–36, 2023.
  5. F. S. R. Nurul Qamar, Metode Penelitian Hukum: Doktrinal dan Non-Doktrinal, vol. 11, no. 1. 2020. [Online]. Available: http://scioteca.caf.com/bitstream/handle/123456789/1091/RED2017-Eng-8ene.pdf?sequence=12&isAllowed=y%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.regsciurbeco.2008.06.005%0Ahttps://www.researchgate.net/publication/305320484_SISTEM_PEMBETUNGAN_TERPUSAT_STRATEGI_MELESTARI
  6. S. I. Hartini and K. Kalman, “Analisis Yuridis Putusan Hakim Terhadap Perkara Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Jayapura,” 2024, doi: 10.55551/jip.v5i1.156.
  7. L. Yana and A. Trigiyatno, “Pemenuhan Hak Nafkah Anak Pasca Perceraian,” no. September, 2022.
  8. A. Darmawan, “Pemenuhan Nafkah Anak Pasca Perceraian,” J. Huk. Kel., vol. 7, no. 1, 2022.
  9. O. Mardi and F. Fatmariza, “Faktor-Faktor Penyebab Keterabaian Hak-Hak Anak Pasca Perceraian,” vol. 6, no. April 2021, pp. 182–199.
  10. M. Azani, C. A. Novalis, F. Hukum, and U. Lancang, “Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama Mengenai pemenuhan Hak Nafkah Anak Pasca Perceraian Di Pengadilan Agama Pekanbaru,” Jotika Res. Bus. Law, vol. 1, no. 2, pp. 46–59, 2022.
  11. M. Sandi Matahati, “Akibat Hukum Dari Perceraian terhadap Anak Menurut Hukum Yang Berlaku,” J. Multidisiplin Indones., vol. 1, no. 5, pp. 1308–1327, 2023, doi: 10.58344/jmi.v1i4.134.
  12. S. B. Pitriani, “Pemenuhan Hak Nafkah Anak Pasca Perceraian Menurut Undang-Undang perkawinan dan Hukum Adat,” Sosains, vol. 5, no. 1, pp. 65–82, 2025.
  13. M. Isa, “PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ( Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Mahkamah Syar ’ iyah Aceh Besar ),” vol. 2, no. 1, pp. 62–71, 2014.
  14. A. A. Burhanudin and H. Anak, “Kewajiban orang tua atas hak-hak anak pasca perceraian,” no. 1, 1974.
  15. Supardi Mursalin, “HAK HADHANAH SETELAH PERCERAIAN (Pertimbangan Hak Asuh bagi Ayah atau Ibu),” Fak. Syariah dan Ekon. Islam. IAIN Bengkulu, 1989.
  16. D. A. Safitri, “Tanggung Jawab Orang Tua Atas Nafkah Anak Pasca Perceraian,” Court Rev. J. Penelit. Huk., vol. 4, no. 06, pp. 38–59, 2024.