Abstract
Abstract:
This study aims to analyze the legal provisions related to the division of joint property in divorce. In addition, this study also evaluates the implementation of these rules in judicial practice and the obstacles faced in resolving joint property disputes. The research method used is normative juridical with a statutory approach and analysis of court decisions. Data were obtained through a literature study of relevant legal regulations, doctrines, and jurisprudence. The results of the study indicate that the regulation of the division of joint property is evenly distributed between husband and wife, unless there are certain reasons that influence the division. Meanwhile, the Marriage Regulation refers to the law that applies to each party, both customary law, religion, and other regulations. In practice, there is still inconsistency in the application of this rule in court, especially related to differences in judges' interpretations and the influence of the legal system adopted by the parties. This study recommends harmonization of the provisions in the Civil Code and the Marriage Law in order to create legal certainty. In addition, it is important for couples to understand the benefits of a marriage agreement as an effort to prevent disputes in the division of joint property after divorce.
Keywords: Division, Joint Property, Divorce
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketentuan hukum terkait pembagian harta bersama dalam perceraian. Selain itu, penelitian ini juga mengevaluasi implementasi aturan tersebut dalam praktik peradilan serta kendala yang dihadapi dalam penyelesaian sengketa harta bersama. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan analisis putusan pengadilan. Data diperoleh melalui studi kepustakaan terhadap peraturan hukum, doktrin, serta yurisprudensi yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan pembagian harta bersama secara merata antara suami dan istri, kecuali ada alasan tertentu yang mempengaruhi pembagian. Sementara itu, peraturan Perkawinan mengacu pada hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak, baik hukum adat, agama, maupun peraturan lainnya. Dalam praktiknya, masih terdapat inkonsistensi dalam penerapan aturan ini di pengadilan, terutama terkait perbedaan interpretasi hakim dan pengaruh sistem hukum yang dianut oleh para pihak. Penelitian ini merekomendasikan harmonisasi ketentuan dalam KUH Perdata dan Undang-Undang Perkawinan guna menciptakan kepastian hukum. Selain itu, penting bagi pasangan untuk memahami manfaat perjanjian perkawinan sebagai upaya pencegahan sengketa dalam pembagian harta bersama setelah perceraian.
Kata Kunci: Pembagian, Harta bersama, Perceraian
Analisis Hukum Tentang Pembagian Harta Bersama Dalam Perceraian
Andi Indah Zahra Murdiani Anas, Muhammad Zulkifli Muhdar, Syamsul Alam
Fakultas Hukum, Universitas Muslim Indonesia
Surel Koresponden: [email protected]
PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan institusi yang fundamental dalam kehidupan masyarakat, yang tidak hanya mencakup hubungan pribadi antara suami dan istri, tetapi juga memiliki dampak sosial yang luas. Secara hukum, perkawinan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memberikan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban pasangan suami istri, termasuk dalam aspek kepemilikan harta bersama. Dalam Islam, perkawinan adalah bagian dari fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang dianugerahi naluri untuk hidup berpasangan. Hal ini tercermin dalam ajaran Al-Qur’an, sebagaimana dalam Surah An-Nisa ayat 32:
وَلَا تَتَمَنَّوْا۟ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌۭ مِّمَّا ٱكْتَسَبُوا۟ ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌۭ مِّمَّا ٱكْتَسَبْنَ ۚ وَسْـَٔلُوا۟ ٱللَّهَ مِن فَضْلِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًۭا ٣٢
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Karena bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan." (QS. An-Nisa: 32).
Salah satu aspek penting dalam perkawinan adalah kepemilikan dan pembagian harta bersama. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan tetap menjadi milik pribadi. Namun, dalam praktiknya, pembagian harta bersama sering kali menimbulkan perbedaan penafsiran di pengadilan, terutama terkait kontribusi masing-masing pasangan dalam perolehan harta. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 97 menetapkan bahwa dalam perceraian, baik janda maupun duda berhak atas setengah dari harta bersama. Namun, dalam beberapa kasus, pembagian harta tidak selalu dilakukan secara merata, terutama dalam perkawinan yang tidak dicatatkan secara resmi atau ketika terjadi sengketa mengenai kontribusi masing-masing pihak dalam memperoleh harta selama perkawinan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat ketidaksesuaian antara norma hukum dan penerapannya dalam pembagian harta bersama. Misalnya, hukum adat memiliki pendekatan yang berbeda dalam menentukan hak atas harta perkawinan dibandingkan KUH Perdata atau KHI. Beberapa kasus menunjukkan bahwa tanpa adanya perjanjian perkawinan yang jelas, pembagian harta sering kali menjadi permasalahan yang berlarut-larut di pengadilan. Dengan adanya perbedaan dalam sistem hukum yang mengatur pembagian harta perkawinan, penelitian ini menjadi penting untuk menganalisis bagaimana aturan yang ada diterapkan dalam praktik serta tantangan yang muncul dalam pelaksanaannya.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif yang berfokus pada analisis norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan terkait pembagian harta bersama setelah perceraian. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dengan menelaah regulasi yang berlaku, teori hukum, serta putusan pengadilan yang relevan. Sumber bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer, seperti Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, KUH Perdata, dan Kompilasi Hukum Islam; bahan hukum sekunder berupa jurnal dan buku hukum; serta bahan hukum tersier seperti kamus hukum dan sumber dari internet. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan dokumentasi, sementara analisis dilakukan dengan metode kualitatif untuk mengevaluasi serta menginterpretasikan aturan hukum yang ada guna memahami penerapannya dalam praktik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketentuan Hukum Pembagian Harta Bersama Dalam Perceraian Menurut KUHPerdata
Terbentuknya Harta Bersama
Harta bersama dalam perkawinan diatur secara tegas dalam Pasal 119 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa sejak saat dilangsungkannya perkawinan, demi hukum terjadi percampuran harta antara suami dan istri, kecuali jika sebelumnya telah dibuat perjanjian kawin yang mengatur sebaliknya. Dengan demikian, jika tidak ada perjanjian kawin, maka semua harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama, terlepas dari siapa yang memperolehnya. Dalam Pasal 147 KUHPerdata, ditegaskan bahwa pasangan dapat membuat perjanjian kawin sebelum pernikahan yang menentukan pemisahan harta secara eksplisit. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi pasangan untuk menghindari ketentuan percampuran harta yang berlaku secara otomatis dalam perkawinan menurut KUHPerdata. menekankan bahwa perjanjian kawin dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih adil bagi masing-masing pihak dalam hal kepemilikan harta, terutama bagi pasangan yang memiliki perbedaan signifikan dalam penghasilan atau aset sebelum menikah. Selain itu, Pasal 128 KUHPerdata menjelaskan bahwa jika perkawinan berakhir, baik karena perceraian maupun sebab lainnya, maka harta bersama harus dibagi dua antara suami dan istri atau ahli warisnya. Ini menunjukkan bahwa dalam sistem hukum perdata, keadilan dalam pembagian harta menjadi prinsip utama yang harus dipatuhi. Dengan demikian, keberadaan harta bersama dalam suatu perkawinan memiliki implikasi hukum yang kuat terkait kepemilikan dan pembagiannya apabila perkawinan berakhir.
Cakupan Harta Bersama
KUHPerdata memberikan ketentuan yang cukup rinci mengenai apa saja yang termasuk dalam harta bersama. Pasal 120 KUHPerdata menyebutkan bahwa harta bersama mencakup semua barang bergerak dan tidak bergerak yang dimiliki pasangan, kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa suatu aset adalah milik pribadi salah satu pasangan. Selain itu, dalam Pasal 121 KUHPerdata, dijelaskan bahwa semua barang yang diperoleh selama perkawinan, baik yang diperoleh dari pendapatan pekerjaan maupun dari pengelolaan aset, secara otomatis masuk dalam kategori harta bersama. Hal ini berarti bahwa meskipun salah satu pasangan bekerja lebih banyak atau memiliki penghasilan lebih besar, harta yang diperoleh tetap dianggap sebagai milik bersama, kecuali ada perjanjian yang mengatur sebaliknya. Pasal 122 KUHPerdata mengatur bahwa utang yang dibuat selama perkawinan juga termasuk dalam harta bersama, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa utang tersebut diperoleh untuk kepentingan pribadi salah satu pasangan dan tidak memberikan manfaat bagi rumah tangga secara keseluruhan. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan bahwa tanggung jawab finansial dalam rumah tangga bersifat kolektif dan tidak hanya dibebankan pada satu pihak saja. Dalam praktiknya, pembagian harta bersama dalam perceraian dapat menimbulkan sengketa, terutama dalam kasus di mana salah satu pasangan merasa lebih berkontribusi terhadap akumulasi kekayaan. Oleh karena itu, KUHPerdata secara tegas memberikan landasan hukum yang jelas agar proses pembagian dapat berjalan secara adil.
Pengurusan Harta Bersama
Mengenai pengelolaan harta bersama, KUHPerdata memberikan hak eksklusif kepada suami untuk mengelola harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 124 KUHPerdata. Dalam pasal ini disebutkan bahwa suami memiliki wewenang utama dalam mengelola, menjual, atau mengalihkan harta bersama tanpa perlu mendapatkan persetujuan istri, kecuali dalam beberapa keadaan tertentu. Namun, hak ini memiliki pengecualian, misalnya dalam hal barang-barang tertentu yang memerlukan persetujuan istri sebelum dijual atau dialihkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 140 KUHPerdata. Pasal 108 KUHPerdata, istri tidak memiliki kapasitas hukum penuh untuk bertindak atas harta bersama tanpa izin suami. Ketentuan ini telah menuai kritik karena dianggap mencerminkan sistem hukum yang patriarkal, di mana suami memiliki kontrol yang lebih besar atas harta perkawinan. berpendapat bahwa pasal ini seharusnya dikaji ulang agar lebih mencerminkan prinsip kesetaraan gender dalam pernikahan. Pasal 128 KUHPerdata kembali menegaskan bahwa dalam kasus perceraian, harta bersama harus dibagi dua, kecuali ada perjanjian lain yang disepakati sebelumnya. Ketentuan ini memperjelas bahwa baik suami maupun istri memiliki hak yang sama terhadap aset yang diperoleh selama perkawinan, dan tidak boleh ada pihak yang dirugikan dalam pembagian tersebut. Dalam praktik hukum di Indonesia, sengketa mengenai pembagian harta sering kali muncul dalam kasus perceraian, terutama ketika salah satu pihak merasa lebih berhak atas bagian yang lebih besar dari harta bersama. Oleh karena itu, prinsip keadilan dalam pembagian harta menjadi salah satu aspek yang sering dipertimbangkan oleh pengadilan dalam memutus perkara perceraian.
Ketentuan Hukum Mengenai Pembagian Harta Bersama Dalam Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pembagian harta bersama dalam perceraian merupakan isu hukum yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dalam hukum Indonesia, harta dalam perkawinan terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu harta bersama dan harta bawaan (Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974). Harta bersama adalah seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan tanpa memandang siapa yang menghasilkan, sementara harta bawaan meliputi harta yang telah dimiliki oleh masing-masing pasangan sebelum menikah atau diperoleh dari hibah dan warisan (Pasal 35 Ayat 2). Konsep pembagian ini bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi pasangan suami istri serta memberikan kepastian hukum terkait hak dan kewajiban masing-masing pihak terhadap aset yang dimiliki selama pernikahan.
Dalam praktiknya, pengelolaan harta bersama mensyaratkan adanya persetujuan dari kedua belah pihak untuk tindakan hukum yang menyangkut harta tersebut, seperti penjualan atau pembagian aset (Pasal 36 Ayat 1). Sebaliknya, harta bawaan dapat dikelola secara mandiri oleh pemiliknya tanpa memerlukan persetujuan pasangan (Pasal 36 Ayat 2). Namun, dalam beberapa kasus, batasan antara harta bersama dan harta bawaan menjadi kabur, terutama jika salah satu pihak berkontribusi dalam pemeliharaan atau peningkatan nilai harta bawaan tersebut selama perkawinan. Selain itu, utang yang diperoleh selama masa perkawinan juga umumnya dianggap sebagai tanggung jawab bersama, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa utang tersebut hanya menguntungkan salah satu pihak tanpa kontribusi pasangan lainnya.
Dalam kasus perceraian, pengadilan berperan penting dalam menentukan pembagian harta apabila tidak terdapat kesepakatan antara suami dan istri (Pasal 39 Ayat 1). Jika pasangan tidak memiliki perjanjian perkawinan (prenuptial agreement), maka harta bersama akan dibagi secara adil, yang sering kali diartikan sebagai pembagian sama rata antara kedua belah pihak. Namun, pembagian ini dapat berbeda tergantung pada hukum yang berlaku, baik hukum agama, adat, maupun hukum perdata (Pasal 37). Dalam beberapa putusan pengadilan, faktor-faktor seperti kontribusi finansial dan non-finansial dari masing-masing pihak serta kebutuhan masa depan pasangan, terutama yang berkaitan dengan pengasuhan anak, menjadi pertimbangan utama dalam pembagian harta.
Secara khusus, dalam hukum Islam yang diterapkan di Pengadilan Agama, pembagian harta bersama sering kali mengikuti prinsip akad dan kesepakatan, di mana pasangan dapat membagi harta berdasarkan kontribusi masing-masing. Jika salah satu pihak lebih banyak berkontribusi dalam pengelolaan dan perolehan harta, maka proporsi pembagian dapat disesuaikan dengan kontribusi tersebut. Namun, jika tidak dapat dibuktikan dengan jelas, pembagian sering kali dilakukan secara merata. Sebaliknya, dalam hukum adat, pembagian harta sering dipengaruhi oleh norma dan kebiasaan setempat yang dapat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Beberapa sistem adat di Indonesia, seperti di Minangkabau yang menganut sistem matrilineal, memiliki aturan tersendiri mengenai kepemilikan dan warisan harta setelah perceraian.
Jika pasangan dapat mencapai kesepakatan mengenai pembagian harta, maka kesepakatan tersebut sebaiknya disahkan oleh pengadilan agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Langkah ini dapat menghindarkan kedua belah pihak dari sengketa hukum di masa depan, terutama jika terdapat aset bernilai tinggi atau utang yang harus diselesaikan bersama. Beberapa pasangan memilih untuk menggunakan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sebelum membawa kasus ke pengadilan.
Dengan demikian, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 memberikan landasan hukum yang jelas dalam pembagian harta pasca perceraian. Regulasi ini bertujuan untuk memastikan keadilan bagi kedua belah pihak serta menjaga keseimbangan dalam hubungan perkawinan. Meskipun hukum telah memberikan pedoman umum, dalam praktiknya, pembagian harta sering kali bergantung pada dinamika masing-masing pasangan, serta pendekatan hukum yang dipilih, baik melalui jalur pengadilan, kesepakatan bersama, maupun berdasarkan hukum adat atau agama yang berlaku.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pembagian harta bersama dalam perceraian telah diatur dalam Pasal 128 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menegaskan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan harus dibagi secara adil antara suami dan istri, serta dalam Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa pembagian harta bersama dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku, baik hukum adat, agama, maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk itu, sebagai upaya perbaikan di masa depan, penting bagi suami dan istri untuk melakukan penataan terhadap penggunaan harta bersama selama perkawinan agar apabila terjadi perceraian, pembagian harta dapat dilakukan dengan adil dan transparan. Selain itu, diperlukan kepastian hukum yang lebih jelas mengenai besaran pembagian harta bersama antara suami dan istri guna memberikan rasa keadilan yang lebih baik bagi kedua belah pihak dan menghindari sengketa berkepanjangan dalam proses perceraian.
References
- A. Yunas, “Hukum Perkawinan dan Itsbat Nikah: Antara Perlindungan dan Kepastian Hukum,” Makassar, Humanities Genius, 2020, p. 90.
- T. D. Cahyani, “Hukum Perkawinan (Vol. 1),” Malang, UMMPress, 2020, p. 41.
- e. a. Saiful Millah., “Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Fiqh dan KHI. (Vol. 2),” Jakarta: Amzah Bumi Aksara, Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2021, p. 88.
- B. Sugiswati, “Konsepsi Harta Bersama Dari Perspektif Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Adat.,” Perspektif, vol. 19, no. 3, pp. 201-211, 2014.
- F. Mokoagow, “Pentingnya Perjanjian Kawin pada Perkawinan dan Perceraian dalam Mengantisipasi Harta Bersama Menurut KUH Perdata.,” Lex Privatum, vol. 9, no. 2, pp. 95-105, 2021.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Book I & II)., Jakarta: Buku Departemen Kehakiman Republik Indonesia., 1847.
- e. a. Novi Febrianti Damanik, “Tinjauan Yuridis Normatif Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus Putusan No. 755/Pdt.G/2017/PN Mdn),” Fiat Iuatitia: Jurnal Hukum, vol. 3, no. 1, pp. 52-64, 2022.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Op.,Cit.
- Ibid.
- E. Djuniarti, “Hukum Harta Bersama Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata (The Law of Joint Property Reviewed from The Perspective of Marriage Law and Civil Code),” Jurnal Penelitian Hukum, vol. 17, no. 4, pp. 445-461, 2017.
- Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1974.
- W. Wijayanti, “Kedudukan istri dalam pembagian harta bersama akibat putusnya perkawinan karena perceraian terkait kerahasiaan bank,” Jurnal Konstitusi, vol. 10, no. 4, pp. 709-730, 2013.
- C. Supandi, “Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.,” Lex Privatum, vol. 7, no. 3, pp. 14-20, 2019.
- R. D. &. A. Yahanan, “Status Hukum Harta Bersama Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian,” Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan, vol. 6, no. 2, pp. 170-179, 2016.