Abstract

Abstract:

This study aims to analyze the regulation of civil law in Indonesia concerning the protection of women workers' reproductive rights and the application of civil law in employment contracts related to these rights. The research employs an empirical legal research method. The findings reveal two main points: First, the protection of women workers' reproductive rights in Makassar has been partially implemented, such as maternity leave, but rights related to menstrual leave, pregnancy leave, and breastfeeding facilities remain inadequate. Second, the application of civil law in employment contracts for women workers is not yet optimal. The contributing factors include the need to enhance monitoring and enforcement of regulations regarding women workers' reproductive rights. Education for companies and workers is also necessary to raise awareness and compliance. Additionally, more specific regulations are required to ensure the effective implementation of these protections in Makassar.

Keywords: Legal Protection, Reproductive Rights, Women Workers/Laborers

 

Abstrak:

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan hukum perdata di Indonesia terkait perlindungan hak reproduksi pekerja/buruh wanita dan penerapan hukum perdata dalam kontrak kerja yang berkaitan dengan hal tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Hasil penelitian menunjukkan dua hal utama: Perlindungan hak reproduksi pekerja wanita di Makassar sudah diterapkan sebagian, seperti cuti melahirkan, namun hak terkait cuti haid, cuti hamil, dan fasilitas menyusui masih kurang dan Penerapan hukum perdata dalam kontrak kerja pekerja wanita belum optimal. Kemudian yang menjadi alasan antara lain adalah meningkatkan pengawasan dan penegakan aturan terkait hak-hak reproduksi pekerja wanita. Edukasi kepada perusahaan dan pekerja juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan. Selain itu, aturan yang lebih spesifik diperlukan agar implementasi perlindungan hak-hak tersebut dapat berjalan lebih efektif di Kota Makassar.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Hak-Hak Reproduksi, Pekerja/Buruh Wanita

Perlindungan Hak Kerja Para Srikandi

Putri Setia Indira, Jasmaniar Jasmaniar, Sri Amlinawaty Muin.

Fakultas Hukum, Universitas Muslim Indonesia

Surel Koresponden: [email protected]

PENDAHULUAN

Perempuan dalam dunia kerja tidak lepas dari berbagai tantangan, termasuk perlindungan hak-hak reproduksi mereka. Pekerja/buruh wanita sering kali menghadapi masalah dalam memperoleh perlindungan hukum yang memadai terkait hak-hak reproduksi mereka, seperti hak atas cuti melahirkan, cuti haid, dan perlindungan dari diskriminasi terkait kehamilan. Hak-hak reproduksi pekerja/buruh wanita mencakup hak atas kesehatan reproduksi, hak untuk tidak didiskriminasi akibat kehamilan, hak cuti melahirkan, hak menyusui, dan hak-hak lainnya yang berhubungan dengan kondisi biologis perempuan. Dalam konteks ketenagakerjaan, hak-hak reproduksi ini seharusnya dilindungi oleh hukum agar pekerja perempuan dapat menjalani kehidupan profesionalnya tanpa mengalami diskriminasi atau kesulitan dalam menjalankan peran reproduksi mereka.

Meskipun sudah ada berbagai peraturan yang melindungi hak-hak reproduksi perempuan, implementasi di lapangan masih sering kali belum optimal. Banyak pekerja/buruh wanita yang masih mengalami diskriminasi terkait kehamilan, mulai dari pemutusan hubungan kerja secara sepihak, pengurangan gaji, hingga tekanan untuk kembali bekerja lebih cepat setelah melahirkan tanpa memanfaatkan cuti melahirkan yang seharusnya mereka terima. Praktik-praktik diskriminatif ini tidak hanya melanggar hak-hak pekerja wanita, tetapi juga berdampak buruk pada kesejahteraan psikologis dan fisik mereka. Ketentuan mengenai hak-hak reproduksi pekerja wanita diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta diperbarui dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Peraturan ini mengatur tentang hak cuti melahirkan, perlindungan selama masa kehamilan, dan kewajiban pemberi kerja untuk memastikan kesehatan dan keselamatan pekerja wanita yang hamil atau menyusui. Di samping itu, hukum perdata juga memainkan peran penting dalam memastikan hak-hak ini terlindungi melalui kontrak kerja yang seimbang antara pekerja dan pemberi kerja.

Menurut hukum perdata di Indonesia, khususnya dalam konteks ketenagakerjaan, pengaturan mengenai hak-hak reproduksi bagi pekerja/buruh wanita sangat penting untuk menjamin kesejahteraan dan hak asasi mereka. Perlindungan terhadap hak-hak reproduksi merupakan bagian integral dari hak asasi manusia yang diakui secara internasional, sebagaimana diatur dalam berbagai konvensi internasional seperti Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan adalah peraturan baru di Indonesia yang membawa pembaruan signifikan bagi sektor kesehatan. Dirancang untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, aturan ini bertujuan meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan, memperkuat sistem kesehatan nasional, serta menyesuaikan regulasi kesehatan dengan tuntutan dan tantangan modern. Bagi pekerja buruh wanita, undang-undang ini memiliki dampak yang penting. Dengan adanya reformasi di sektor kesehatan, akses terhadap layanan kesehatan menjadi lebih mudah dan merata, termasuk layanan kesehatan reproduksi dan hak-hak kesehatan khusus perempuan. Reformasi ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan khusus mereka, seperti layanan kesehatan kehamilan, cuti melahirkan yang lebih adil, serta pemeriksaan kesehatan rutin yang lebih terjangkau dan berkualitas. Lebih lanjut, dengan peningkatan standar dan kualitas layanan kesehatan melalui undang-undang ini, pekerja buruh wanita yang umumnya memiliki akses terbatas terhadap fasilitas kesehatan berkualitas diharapkan dapat merasakan manfaat kesehatan yang lebih baik, termasuk akses pada program pencegahan penyakit. Hal ini tentunya akan mendukung kesejahteraan mereka dan memperbaiki kualitas hidup para pekerja buruh wanita di Indonesia.Salah satu permasalahan utama yang sering muncul adalah kurangnya pemahaman dari pihak pemberi kerja mengenai kewajiban mereka dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak reproduksi pekerja wanita. Selain itu, banyak pekerja wanita yang enggan memperjuangkan hak mereka karena takut akan dampak negatif, seperti pemutusan hubungan kerja atau diskriminasi di tempat kerja. Faktor-faktor ini menunjukkan masih adanya kesenjangan antara aturan hukum yang ada dengan praktik yang dijalankan di lapangan.

Pada Bulan Mei 2023, Komunitas Solidaritas Perempuan Angin Mamiri Sulsel tuntut hak buruh perempuan dituntaskan. Sejumlah aktivis mengatasnamakan Komunitas Solidaritas Perempuan Angin Mamiri Sulawesi Selatan menggelar aksi menuntut hak-hak buruh perempuan sekaligus mendesak kasus berkaitan dengan perempuan segera dituntaskan.  "Perempuan buruh di Indonesia, termasuk di Sulsel masih mengalami banyak persoalan seperti diskriminasi, pemenuhan hak-hak reproduksi, kekerasan di tempat kerja, korban trafficking hingga kematian di negara tujuan," ungkap Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Angin Mammiri Sulsel, Suryani, saat aksi May Day di bawah jembatan layang Makassar. Selain itu, ada banyak perempuan nelayan kehilangan pekerjaan diduga terdampak kebijakan pembangunan Pelabuhan Makassar New Port yang mereklamasi laut di Makassar seluas 1.428 hektare. Di sektor lain perempuan petani di Kabupaten Takalar juga kehilangan atas hak tanahnya setelah dikelola PTPN atau perusahaan gula di kabupaten setempat. Di Sektor lainnya perempuan buruh industri masih mengalami diskriminasi upah dan tidak terpenuhinya hak reproduksi, berupa cuti haid, hamil, melahirkan, dan keguguran, serta tidak adanya kondisi kerja yang layak bagi perempuan pekerja rumah tangga. Selanjutnya, tidak melakukan segala bentuk penyiksaan dan kekejaman terhadap PMI yang dideportasi. Segera mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja. Melakukan pengesahan terhadap Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Segera merumuskan kebijakan yang melindungi, menghormati dan memenuhi hak pekerja migran Indonesia, khususnya Perempuan di Sulsel dan Hentikan PHK sepihak dan berikan upah layak bagi buruh perempuan.

Dari berbagai permasalahan buruh dan krisis multi dimensi tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang sedari awal bermasalah secara formil dan materiil hingga menuai protes. Perusahaan berdalih bahwa kebutuhan operasional tidak memungkinkan pekerja mengambil cuti lebih lama. Kasus ini mendapat perhatian luas di media lokal karena dianggap melanggar hukum ketenagakerjaan yang berlaku dan tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja wanita hamil

METODE

Jenis penelitian yang diterapkan dalam studi ini adalah penelitian empiris, bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisis data yang diperoleh melalui pengamatan langsung. Sesuai dengan objek dan pendekatan yang digunakan studi kepustakaan, dan wawancara. Adapun Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar tepatnya di Kantor BPJS Ketenagakerjaan dan Kantor Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Selatan. Populasi mencakup 4 orang responden. Adapun jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer, data sekunder dan data tersier.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaturan Hukum Perdata di Indonesia Terkait Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Pekerja/Buruh Wanita

Pekerja perempuan memerlukan perhatian dan perlakuan khusus, mengingat adanya perbedaan alami antara mereka dan pekerja laki-laki, terutama yang berkaitan dengan hak-hak reproduksi, seperti menstruasi, kehamilan, persalinan, dan menyusui. Perbedaan ini membutuhkan perlindungan yang lebih intensif untuk menjaga kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja perempuan dalam lingkungan kerja. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur berbagai hak yang dimiliki pekerja perempuan, seperti cuti haid, cuti melahirkan, dan cuti menyusui, untuk melindungi mereka dari dampak fisik dan mental yang dapat timbul selama masa-masa tersebut. Meskipun sudah ada regulasi yang melindungi hak-hak ini, penerapannya sering kali menemui kendala. Salah satu kendalanya adalah lemahnya sanksi bagi perusahaan yang melanggar dan adanya ketakutan di kalangan pekerja perempuan akan kehilangan pekerjaan apabila mereka menggunakan hak cutinya.

Selain hak-hak terkait reproduksi, pengusaha juga diwajibkan memberikan upah yang layak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk memberikan jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Pengusaha juga harus menyediakan fasilitas kesejahteraan lain, seperti cuti tahunan, cuti melahirkan, dan hak atas waktu istirahat. Tak kalah penting, pengusaha wajib menciptakan lingkungan kerja yang aman dengan menerapkan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Kewajiban-kewajiban ini bertujuan untuk memastikan pekerja perempuan tidak hanya mendapatkan hak-hak dasar mereka, tetapi juga dapat bekerja dengan aman dan nyaman, serta memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang di dunia kerja.

Di sisi lain, pemerintah, melalui Dinas Ketenagakerjaan, memiliki peran yang sangat penting dalam memastikan perusahaan mematuhi peraturan yang berlaku. Dinas Ketenagakerjaan harus melakukan sosialisasi yang efektif kepada pengusaha dan perusahaan mengenai kewajiban mereka terhadap pekerja perempuan. Selain itu, mereka harus memberlakukan sanksi tegas bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan perlindungan kepada pekerja perempuan. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah mengubah pandangan perusahaan yang masih sering mendiskreditkan pekerja perempuan, misalnya dengan menghindari perekrutan perempuan yang sudah menikah atau hamil, serta memecat pekerja perempuan yang sedang hamil, melahirkan, atau menyusui.

Hak maternitas, seperti cuti melahirkan dan cuti menyusui, merupakan bagian dari upaya mewujudkan keadilan gender dan hak asasi manusia. Hal ini penting karena hak-hak maternitas tidak hanya berhubungan dengan aspek pribadi pekerja perempuan, tetapi juga memiliki dampak sosial yang besar. Kehamilan, persalinan, dan menyusui adalah proses yang sangat melelahkan secara fisik, dan bagi pekerja perempuan yang juga harus memenuhi kewajiban pekerjaan, memberikan mereka hak untuk cuti adalah langkah yang sangat diperlukan. Fungsi reproduksi perempuan tidak hanya berfungsi secara biologis tetapi juga sebagai dasar dari kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, perlindungan terhadap hak-hak maternitas ini bukan hanya kewajiban negara dan perusahaan, tetapi juga merupakan tanggung jawab sosial yang harus dipenuhi.

Dalam Islam, perempuan diberi penghormatan terhadap kodratnya yang unik, seperti haid, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Semua aspek ini harus dihormati dan dilindungi oleh masyarakat, termasuk dalam dunia kerja. Perlindungan ini mencakup pemberian cuti haid, melahirkan, dan menyusui, serta pengaturan waktu kerja yang fleksibel untuk pekerja perempuan yang sedang menyusui. Dengan demikian, Islam mendukung perlindungan bagi pekerja perempuan dengan tujuan agar mereka dapat menjalankan peran ganda mereka sebagai ibu dan pekerja tanpa ada diskriminasi atau hambatan yang berlebihan.

Selain itu, dalam konteks keadilan substantif berbasis gender, pemberian hak-hak maternitas harus menjadi perhatian utama dalam kebijakan ketenagakerjaan. Perlindungan terhadap pekerja perempuan tidak hanya membantu mereka menjalankan peran mereka dalam keluarga, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Hak-hak maternitas, seperti cuti melahirkan dan menyusui, juga berperan dalam memastikan perempuan tidak terbebani oleh tuntutan pekerjaan yang berlebihan, sehingga mereka dapat menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional mereka.

Di sisi lain, praktik diskriminasi terhadap pekerja perempuan yang sedang hamil atau melahirkan masih terjadi di banyak tempat kerja. Hal ini sering menyebabkan perempuan merasa terpaksa untuk tidak mengajukan hak mereka, seperti cuti melahirkan atau menyusui, karena takut akan dipecat atau diperlakukan tidak adil. Pemerintah dan perusahaan perlu bekerja sama untuk mengatasi masalah ini dan menciptakan lingkungan kerja yang ramah bagi perempuan, dengan memastikan hak-hak reproduksi mereka dipenuhi tanpa rasa takut atau diskriminasi. Jika perusahaan melanggar kewajiban ini, mereka harus dikenakan sanksi yang tegas, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada.

Perlindungan terhadap pekerja perempuan tidak hanya melindungi hak-hak dasar mereka, tetapi juga membantu mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dengan memastikan bahwa perempuan dapat berkontribusi secara maksimal dalam pembangunan nasional. Tanpa perlindungan yang memadai, banyak pekerja perempuan yang akan mengalami kesulitan dalam menjalani peran mereka di dunia kerja dan keluarga. Oleh karena itu, memastikan pemenuhan hak-hak maternitas bagi pekerja perempuan adalah langkah penting untuk menciptakan dunia kerja yang adil, inklusif, dan berkeadilan gender.

Penerapan Hukum Perdata Dalam Kontrak Kerja Terkait Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Pekerja/ Buruh Wanita

Pelaku Perjanjian kerja merupakan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja yang mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak. Meskipun merupakan hasil kesepakatan bersama, perjanjian kerja harus tetap memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku, tidak mengandung unsur pemaksaan, serta tidak merugikan salah satu pihak. Perjanjian ini bertujuan untuk menciptakan hubungan kerja yang adil dan harmonis antara pengusaha dan pekerja. Dalam hal ini, perjanjian kerja berfungsi sebagai dasar yang mengikat kedua belah pihak, di mana hak-hak dan kewajiban masing-masing harus diatur dengan jelas. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja harus mencakup syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak secara jelas dan tertulis. Menurut Subekti, perjanjian kerja adalah perjanjian yang mengatur hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha dengan ciri-ciri adanya upah yang disepakati dan kewajiban untuk mematuhi perintah yang diberikan oleh pengusaha. Di sisi lain, MG. Rood menyebutkan bahwa perjanjian kerja sah apabila memenuhi empat unsur pokok, yaitu adanya pekerjaan yang harus dikerjakan oleh pekerja, adanya pelayanan yang diberikan pekerja kepada pengusaha, adanya upah yang diberikan oleh pengusaha kepada pekerja, dan adanya waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang-undangan.

Hak dan kewajiban dalam perjanjian kerja sangat penting, di mana kewajiban pengusaha untuk memberikan upah merupakan hak pekerja, dan kewajiban pekerja untuk melakukan pekerjaan dengan baik merupakan hak pengusaha. Dalam hal ini, perjanjian kerja harus mencerminkan keseimbangan yang adil antara hak dan kewajiban kedua belah pihak. Kewajiban pekerja yang melakukan tugas dengan baik juga menjadi hak bagi pengusaha untuk mendapatkan hasil kerja yang optimal, demikian pula kewajiban pengusaha untuk membayar upah merupakan hak pekerja untuk mendapatkan imbalan atas kerja yang dilakukan. Namun, dalam prakteknya, hak-hak reproduksi pekerja perempuan sering kali tidak tercantum secara rinci dalam kontrak kerja. Misalnya, cuti haid atau hak-hak lainnya yang berhubungan dengan kondisi fisik pekerja perempuan sering kali tidak diatur secara eksplisit. Berdasarkan wawancara dengan beberapa karyawan dan pihak terkait, banyak pekerja perempuan yang tidak memperoleh hak mereka sepenuhnya terkait dengan cuti haid atau tambahan penghasilan selama cuti hamil, meskipun hal tersebut diatur oleh undang-undang. Dalam praktiknya, banyak pekerja perempuan yang tetap bekerja pada hari pertama haid karena alasan tidak ingin kehilangan upah, meskipun mereka berhak atas cuti tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pekerja perempuan yang sedang haid berhak tidak bekerja pada hari pertama dan kedua dengan tetap menerima upah penuh.

Selanjutnya, Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur tentang cuti hamil bagi pekerja perempuan, yaitu hak untuk istirahat selama 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Pekerja perempuan diharuskan memberitahukan perusahaan mengenai perkiraan tanggal kelahiran maksimal 1,5 bulan sebelum kelahiran dan memberikan bukti kelahiran anak dalam waktu tujuh hari setelah melahirkan. Dalam praktiknya, meskipun hak atas upah penuh selama cuti hamil dan melahirkan sudah diatur, masih ada perusahaan yang tidak membayar upah secara penuh. Selain itu, bagi pekerja perempuan yang mengalami keguguran, Pasal 82 ayat (2) menyatakan bahwa mereka berhak mendapatkan istirahat selama 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter yang menangani kasus tersebut. Selain hak-hak terkait dengan kehamilan dan kelahiran, Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juga mengatur hak pekerja perempuan yang sedang menyusui. Pekerja perempuan yang menyusui anaknya berhak mendapatkan waktu untuk memerah ASI selama jam kerja. Undang-Undang ini mensyaratkan bahwa perusahaan harus menyediakan fasilitas untuk kegiatan tersebut, seperti ruang menyusui atau memerah ASI yang memadai. Di tingkat internasional, Konvensi ILO No. 183 Tahun 2000 juga mengatur bahwa pekerja perempuan yang menyusui berhak mendapatkan waktu untuk menyusui atau memerah ASI, sesuai dengan rekomendasi WHO yang menyatakan bahwa masa menyusui sebaiknya berlangsung setidaknya dua tahun. Meskipun begitu, kenyataannya, fasilitas tersebut sering kali hanya efektif untuk pekerja perempuan yang bekerja di lokasi yang dekat dengan perusahaan.

Selain itu, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 juga melarang perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerja perempuan yang sedang hamil, melahirkan, keguguran, atau menyusui. Pasal 153 ayat (1) huruf e mengatur larangan PHK dengan alasan tersebut. Bahkan, Pasal 153 ayat (2) menyatakan bahwa PHK yang dilakukan karena pekerja perempuan hamil atau melahirkan adalah batal demi hukum, dan perusahaan wajib mempekerjakan kembali pekerja tersebut. Larangan ini juga tercantum dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 03/Men/1989 yang dengan tegas melarang PHK terhadap pekerja perempuan yang menikah, hamil, atau melahirkan. Larangan tersebut bertujuan untuk melindungi pekerja perempuan dan menghormati hak-hak reproduksi mereka, sesuai dengan prinsip kesetaraan gender dalam ketenagakerjaan, yang juga menjadi bagian dari komitmen Indonesia terhadap Konvensi ILO No. 100 dan No. 111 tentang diskriminasi dalam pekerjaan.

Berdasarkan analisis ini, dapat disimpulkan bahwa meskipun peraturan mengenai hak reproduksi pekerja perempuan telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, implementasinya di dunia kerja masih menghadapi banyak kendala. Banyak perusahaan yang tidak sepenuhnya mematuhi ketentuan ini, terutama terkait dengan pemenuhan hak cuti haid, cuti melahirkan, fasilitas menyusui, dan perlindungan terhadap pekerja perempuan yang sedang hamil atau melahirkan. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran perusahaan dan pekerja mengenai hak-hak ini serta mendorong kepatuhan yang lebih baik terhadap peraturan yang telah ada demi tercapainya kesejahteraan pekerja perempuan dan terciptanya hubungan kerja yang lebih adil.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pengaturan hak reproduksi pekerja wanita dalam kontrak kerja di Indonesia belum sepenuhnya sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Banyak perusahaan mengabaikan hak cuti haid dan melahirkan demi efisiensi, meskipun hal ini diatur dalam Undang-Undang. Dinas Ketenagakerjaan di Makassar perlu mengawasi pemenuhan kewajiban ini. Kontrak kerja seringkali tidak mencantumkan hak reproduksi pekerja wanita, seperti cuti haid dan hamil. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara hukum dan praktik, sehingga perlindungan hak pekerja wanita di Makassar masih kurang optimal. Dibutuhkan upaya bersama untuk memperbaikinya.

Disarankan Perusahaan disarankan untuk menyusun kontrak kerja yang jelas mengenai hak reproduksi pekerja, dan Dinas Ketenagakerjaan perlu memperkuat pengawasan serta edukasi kepada pekerja untuk meningkatkan kesadaran akan hak mereka. Perusahaan perlu meninjau ulang kebijakan cuti untuk memastikan pekerja wanita mendapatkan hak cuti haid, hamil, dan melahirkan tanpa risiko kehilangan pekerjaan, serta menjaga keseimbangan antara operasional dan kesejahteraan pekerja.

REFERENSI

References

  1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Konvensi ILO No. 183 Tahun 2000.
  2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal terkait hak-hak reproduksi pekerja perempuan., Indonesia.
  3. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984., United Nations.
  4. Komunitas Solidaritas Perempuan Angin Mamiri Sulsel Tuntut Hak Buruh Perempuan Dituntaska.
  5. Humaniora, “SP Angin Mamiri Sulsel tuntut hak buruh perempuan dituntaskan.,” ANTARA, 2024. [Online]. [Diakses 6 November 2024].
  6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 81–83., Indonesia.
  7. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, 1995.
  8. M. Rood, Pengantar Hukum Perburuhan Indonesia, Jakarta.
  9. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 153 ayat (1) huruf e., Indonesia.
  10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 03/Men/1989 tentang Larangan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja Perempuan karena Menikah, Hamil, atau Melahirkan., Indonesia.
  11. International Labour Organization (ILO), Convention No. 100 on Equal Remuneration dan Convention No. 111 on Discrimination (Employment and Occupation.